kita, melalui media massa, sedang disibukkan dengan pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh Dul, anak dari Ahmad Dani. banyak bahasan mengenai kecelakaan tersebut dari bagaimana terjadinya kecelakaan, penggunaan kendaraan bermotor oleh anak di bawah umur, pengawasan orang tua terhadap anak, hingga bagaimana Ahmad Dani akan membiayai sekolah anak-anak korban kecelakaan tersebut. tapi, kalau dari sudut pandang saya, Dul ini sedang mengalami kesialan.
saya masih ingat, ketika usia saya 13 tahun, saya saat itu masih SMP. saat itu saya bukan saja mengendarai mobil, bukan pula motor, saya masih sering naik angkutan umum dan sesekali di antar bapak tiap berangkat dan/atau pulang sekolah. sebagimana posting terdahulu, bahwa saya tiap pulang sekolah hampir pasti bergelantungan di pintu angkutan. teman-teman saya pun demikian, dan sebagian yang lain naik sepeda. hanya sedikit dari mereka yang naik motor sendiri.
tapi sekarang, banyak dari anak SMP yang ke sekolah mengendarai motor sendiri, bahkan di kota besar mereka mengendarai mobil sebagaimana yang terjadi pada Dul. angkutan umum semakin dikesampingkan. anak-anak sekolah kini banyak yang diantar oleh orang tuanya dan yang naik angkutan umum semakin berkurang. ketika para orang tua merasa "bosan" dan "lelah" mengantar anak-anaknya, mereka menyewa sopir atau membekali anak-anaknya mengendarai kendaraan sendiri.
beberapa waktu yang lalu saya naik angkutan umum, saya merasa menemukan sesuatu yang hilang. dahulu saya sering naik angkutan umum dan kini lebih sering naik motor dan sesekali naik mobil rental. ketika naik angkutan umum, saya merasakan sensasi yang tidak saya rasakan ketika naik motor. jadi ingat pesan dalam film animasi "Cars", kota Radiator Springs kehilangan kehidupannya karena dibangun jalan bebas hambatan. mobil-mobil kini lebih mementingkan bagaimana waktu tempuh itu bisa dipercepat dan tidak lagi menikmati perjalanan mereka. demikian yang terjadi pada kita, kita lebih mementingkan bagaimana kita semakin cepat ke tujuan tanpa menikmati perjalanan.
Dul hanyalah "korban peradaban". mungkin dia dan anak-anak lain seusianya tidak merasakan bagaimana sensasi naik angkutan umum yang tidak bisa didapatkan ketika naik kendaraan pribadi baik motor maupun mobil. beberapa waktu yang lalu, Ahmad Dani memberi pernyataan kepada media massa bahwa setiap anaknya memiliki mobil sendiri berikut sopirnya. jadi, jika ia dan anak-anaknya punya mobil sendiri, berarti setidaknya ada empat mobil yang ia miliki. dengan aktivitas yang segambreng pada masing-masing, sangat beralasan jika mereka tidak paham satu dengan lainnya.
bisa jadi mereka tidak paham apa itu "berbagi tempat duduk". dengan saudara saja mereka tidak berbagi tempat duduk karena mereka telah berbagi sopir. di angkutan umum, kita dipaksa untuk berbagi tempat duduk. kita dipaksa untuk bertoleransi. dengan naik kendaraan umum kita juga bisa menambah teman atau bahkan saudara. ketika kita naik kendaraan umum, tidak mustahil jika tiap naik kita sering bertemu dengan sesama penumpang, karena sering bertemu maka akan semakin hafal muka dan akan ada waktunya saling bertegur sapa dan semakin dekat menjadi teman.
okelah dul dan saudara-saudaranya, demikian pula kita, punya kewajiban tersendiri yang mengharuskan menggunakan kendaraan pribadi dan mempermacet jalanan ibu kota. jika Anda termasuk orang yang sama nasibnya seperti Dul, sempatkan sesekali naik kendaraan umum dan rasakan sensasinya. jika kita bisa merasakan sensasi dan manfaat naik angkutan umum, semoga anak-anak kita nantinya juga masih bisa merasakannya. cukuplah Dul menjadi korban terakhir dari sikap kita yang merasa biasa jika anak di bawah umur boleh mengendarai kendaraan sendiri.