Tadi sore saya membaca salah satu portal berita yang memberitakan bahwa KPI merekomendasikan izin siar 10 stasiun televisi diperpanjang. Agar benar-benar bisa diperpanjang, tinggal menunggu persetujuan dari Kemenkominfo. Dan di sisi lain, Kemenkominfo pun siap memberi lampu hijau. Jadi, dalam 10 tahun mendatang, tv swasta nasional yang ada di tv masyarakat Indonesia tidak ada perubahan sama sekali. Mari kita sejenak melamun dan membayangkan bagaimana jika izin siar kesepuluh stasiun tv tersebut tidak bisa diperpanjang.
Penyelenggaraan lembaga penyiaran dalam hal ini televisi tentu bukan perkara yang murah. Sekali lagi membuat tv nasional tentu biaya yang besar alias mahal. Tentu investasi yang telah dikeluarkan mereka-mereka pemilik stasiun tv bukan investasi yang bertujuan untuk dalam waktu sepuluh tahun saja. Mereka tentu memiliki tujuan jangka panjang. Melebarkan sayap ke penjuru wilayah di negeri yang luas ini juga mebutuhkan waktu dan biaya yang panjang. Jika sepuluh tahun saja mereka harus meninggalkan dunia penyiaran nasional, mereka tentu saja rugi.
Padahal jika kita lihat konten siarannya, tentu banyak darinya bisa membuat kita muntah darah. Lembaga penyiaran yang seharusnya memiliki rambu-rambu dan etika tidak mencerminkan itu. Dari keberpihakan politis karena pemiliknya ikut terjun ke dunia politik hingga tayangan yang konyol. KPU tidak bisa menindak keberpihakan politik karena peraturan perundang-undangan hanya mengatur tentang pencurian start kampanye di masa pemilu. Di luar itu, KPU bisa apa.
Contoh nyata, sidang kopi Jessica. Apa esensi yang dibangun oleh televisi hingga menghabiskan waktu berjam-jam dan live lagi. Kita ingat, dulu Partainya Pak SBY menyelenggarakan konvensi bacalon presiden dan ditayangkan live selama lima jam, KPI menegurnya. Mengapa tidak terjadi pada kasus Kopi Jessica. Kekonyolan juga terjadi pada official broadcaster Olimpiade Rio, ternyata tv tersebut lebih memilih menayangkan putri duyung. Demikian pula official broadcaster PON XIX yang hanya menayangkan partai final tanpa tahu proses perjalanannya. Lebih konyol lagi, tv yang dimiliki oleh Pak SP, dengan bangganya menayangkan kerusuhan di venue PON dengan menyatakan penyelenggara dan pemerintah daerahnya tidak becus menyelenggarakan PON, tetapi di waktu yang sama memberikan dukungan pada penggusuran di bukit duri padahal masyarakat mengecamnya. Tentu nuansa politik kuat di dua tayangan berita tersebut. Masih terlalu banyak kekonyolah dunia tv lainnya.
Kesepuluh stasiun tv tersebut telah berinvestasi bukan untuk sepuluh tahun tapi sebisa mungkin untuk selamanya. Regulasi tentu hanya regulasi. Peraturan dengan sangat mudah digunakan untuk mencitrakan bahwa kesepuluh stasiun tv tersebut taat aturan. Ada tidaknya peraturan tersebut, mereka akan tetap selamanya menguasi dunia penyiaran Indonesia. Mereka telah membentuk kartel penyiaran. Tidak ada lagi kesempatan untuk tv baru mengudara di langit Indonesia. Slot frekuensi telah mereka penuhi.
Saat ini, satu-satunya jalan bagi mereka tv baru adalah dengan menyelenggarakan tv streaming. Tapi ini juga tidak semulus yang dibayangkan karena tidak semua masyarakat Indonesia menggunakan internet untuk streaming. Masyarakat Indonesia masih banyak yang berhemat dalam biaya data. Jadi tv streaming hanya dinikmati kelompok tertentu saja.
Apa kabar tv digital? Sebuah isu yang tidak pernah dibahas di tv swasta nasional. Jika memang tv digital diberlakukan, mereka bisa terancam. Hal ini mengingat slot frekuensi UHF yang telah mereka habiskan nanti berpindah ke digital yang mencapai 60 slot. Mereka nantinya tidak bisa menguasai pasar penyiaran. Tentu isu tersebut tidak seksi bagi mereka. Sehingga wajar jika iklan sosialiasi tv digital hanya dilakukan oleh TVRI.
Ada tidaknya peraturan perpanjangan izin siar, stasiun tv swasta nasional akan tetap mengudara selamanya. Sampai saat ini tidak pernah ada bahkan terdengar pun tidak mengenai pencabutan izin siar atau sekedar sementara waktu. Bagaimana jika izin siar tidak diperpanjang? Itu tidak mungkin, mengingat tv-tv ini telah berinvestasi. Tidak ada salahnya sejenak kita mengingat isi dalam film Terpenjara di Udara untuk mengingatkan bahwa kita memang telah terpenjara di udara. :)
Penyelenggaraan lembaga penyiaran dalam hal ini televisi tentu bukan perkara yang murah. Sekali lagi membuat tv nasional tentu biaya yang besar alias mahal. Tentu investasi yang telah dikeluarkan mereka-mereka pemilik stasiun tv bukan investasi yang bertujuan untuk dalam waktu sepuluh tahun saja. Mereka tentu memiliki tujuan jangka panjang. Melebarkan sayap ke penjuru wilayah di negeri yang luas ini juga mebutuhkan waktu dan biaya yang panjang. Jika sepuluh tahun saja mereka harus meninggalkan dunia penyiaran nasional, mereka tentu saja rugi.
Padahal jika kita lihat konten siarannya, tentu banyak darinya bisa membuat kita muntah darah. Lembaga penyiaran yang seharusnya memiliki rambu-rambu dan etika tidak mencerminkan itu. Dari keberpihakan politis karena pemiliknya ikut terjun ke dunia politik hingga tayangan yang konyol. KPU tidak bisa menindak keberpihakan politik karena peraturan perundang-undangan hanya mengatur tentang pencurian start kampanye di masa pemilu. Di luar itu, KPU bisa apa.
Contoh nyata, sidang kopi Jessica. Apa esensi yang dibangun oleh televisi hingga menghabiskan waktu berjam-jam dan live lagi. Kita ingat, dulu Partainya Pak SBY menyelenggarakan konvensi bacalon presiden dan ditayangkan live selama lima jam, KPI menegurnya. Mengapa tidak terjadi pada kasus Kopi Jessica. Kekonyolan juga terjadi pada official broadcaster Olimpiade Rio, ternyata tv tersebut lebih memilih menayangkan putri duyung. Demikian pula official broadcaster PON XIX yang hanya menayangkan partai final tanpa tahu proses perjalanannya. Lebih konyol lagi, tv yang dimiliki oleh Pak SP, dengan bangganya menayangkan kerusuhan di venue PON dengan menyatakan penyelenggara dan pemerintah daerahnya tidak becus menyelenggarakan PON, tetapi di waktu yang sama memberikan dukungan pada penggusuran di bukit duri padahal masyarakat mengecamnya. Tentu nuansa politik kuat di dua tayangan berita tersebut. Masih terlalu banyak kekonyolah dunia tv lainnya.
Kesepuluh stasiun tv tersebut telah berinvestasi bukan untuk sepuluh tahun tapi sebisa mungkin untuk selamanya. Regulasi tentu hanya regulasi. Peraturan dengan sangat mudah digunakan untuk mencitrakan bahwa kesepuluh stasiun tv tersebut taat aturan. Ada tidaknya peraturan tersebut, mereka akan tetap selamanya menguasi dunia penyiaran Indonesia. Mereka telah membentuk kartel penyiaran. Tidak ada lagi kesempatan untuk tv baru mengudara di langit Indonesia. Slot frekuensi telah mereka penuhi.
Saat ini, satu-satunya jalan bagi mereka tv baru adalah dengan menyelenggarakan tv streaming. Tapi ini juga tidak semulus yang dibayangkan karena tidak semua masyarakat Indonesia menggunakan internet untuk streaming. Masyarakat Indonesia masih banyak yang berhemat dalam biaya data. Jadi tv streaming hanya dinikmati kelompok tertentu saja.
Apa kabar tv digital? Sebuah isu yang tidak pernah dibahas di tv swasta nasional. Jika memang tv digital diberlakukan, mereka bisa terancam. Hal ini mengingat slot frekuensi UHF yang telah mereka habiskan nanti berpindah ke digital yang mencapai 60 slot. Mereka nantinya tidak bisa menguasai pasar penyiaran. Tentu isu tersebut tidak seksi bagi mereka. Sehingga wajar jika iklan sosialiasi tv digital hanya dilakukan oleh TVRI.
Ada tidaknya peraturan perpanjangan izin siar, stasiun tv swasta nasional akan tetap mengudara selamanya. Sampai saat ini tidak pernah ada bahkan terdengar pun tidak mengenai pencabutan izin siar atau sekedar sementara waktu. Bagaimana jika izin siar tidak diperpanjang? Itu tidak mungkin, mengingat tv-tv ini telah berinvestasi. Tidak ada salahnya sejenak kita mengingat isi dalam film Terpenjara di Udara untuk mengingatkan bahwa kita memang telah terpenjara di udara. :)