Indonesian South Sea Pearl merupakan komoditas Indonesia yang mendunia. Mutiara jenis ini selain secara kuantitas menguasai pasar mutiara dunia, secara kualitas juga merupakan jenis mutiara kelas satu. Sayangnya, banyak dari kita, manusia Indonesia tidak mengenal bahwa Indonesian South Sea Pearl (ISSP) adalah demikian. Karena kekurangtahuan sebagaian masyarakat dan di sisi lain ada pihak yang tahu, maka ISSP banyak dibawa diekspor tanpa adanya nama Indonesia. Dan karena kekurangtahuan itu pula, mutiara dari Tiongkok dapat melenggang bebas di pasaran mengalahkan mutiara kelas satu, Indonesian South Sea Pearl.
Sumber: website KKP |
Dunia terus berputar, waktu terus berjalan, kehidupan pun terus berubah. Apakah saat ini kita mengelola ISSP sama dengan sepuluh tahun lalu? Kita "menambang" ISSP kemudian berharap orang-orang yang melihatnya bisa merasa tertarik dengan mutiara tersebut lalu membelinya. Bagaimana jika tidak tertarik tetapi justru tertarik dengan mutiara jenis lain? Apakah kita cukup mengatakan "ah nasib, belum rejeki"? Atau kita memilih mencari kambing hitam dengan mangatakan bahwa pihak-pihak dari Tiongkok menjual mutiara air tawar dengan harga yang lebih murah dan kualitasnya pun lebih rendah?
Barang kelas satu seharusnya untuk pasar kelas satu pula.
Sudahkah kita memperlakukan ISSP sebagai mutiara kelas satu dan menjual mutiara kelas satu tersebut benar-benar untuk pasar kelas satu? Ataukah kita hanya cukup merasa bangga bahwa barang ini adalah barang bagus tetapi kita menjualnya dengan cara dan pasar kelas tiga? Orang-orang yang memilih membeli mutiara yang kualitasnya dibawah ISSP dan harganya juga di bawah itu bukanlah kostumer kelas satu. Kostumer kelas satu adalah mereka yang rela merogoh saku hingga yang terdalam demi mendapatkan kualitas yang terbaik.
ISSP adalah mutiara kelas satu. Pengelolaannya pun juga harus dilakukan oleh sebuah sistem yang benar-benar profesional. Sudah tidak lagi benda yang bernilai sangat tinggi ini dilakukan secara tradisional. Harus ada sistem semacam perusahaan BUMN sekelas Garuda Indonesia atau BRI yang dengan berani memiliki satelit sendiri, mutiara pun demikian. Harus ada sistem atau perusahaan yang benar-benar berfikir dan memetakan dengan sebenar-benarnya siapa pangsa pasar ISSP ini.
Sebuah perusahaan kelas internasional akan befikir siapa kostumer mereka, apakah dijual secara bebas di pasar atau langsung ke hadapan konsumen, apa produk mereka, berapa harga yang pantas, apa inovasi pengembangan produknya, bagaimana branding produk mereka, dan lain sebagainya. Mereka bukan lagi berfikir bagaimana barang itu habis terjual melainkan berfikir bagaimana kostumer puas dengan produk mereka. Mereka berfikir fokus pada konsumen bukan produk. Sistem ini harus diisi oleh orang-orang yang tahu akan perhiasan, pasar, psikologi manusia, inovator dan inventor, dan lain sebagainya. Sudah tidak lagi birokrat berbicara banyak di sini.
Bisa saja mereka berfikir bahwa ISSP diolah terlebih dahulu menjadi jewelry, sesuai karakteristik kostumer, yang kemudian harganya berada di atas harga mutiara "mentah". Dan suatu saat kondisi dapat berubah, ketika banyak mutiara yang dijual telah berbentuk perhiasan, pasar akan mencari mutiara murni yang belum diolah menjadi perhiasan. Di kondisi ini, harga akan berbalik, ISSP bisa menjadi mahal. Demikian seterusnya.
Indonesian South Sea Pearl adalah mutiara kelas satu dunia. Kita harus mengembalikannya kepada kelasnya. Mutiara jenis ini harus dikelola sebagaimana mestinya. Bagaimana membudidayakan, mengolah, menginovasi, menjual, bahkan hingga pasca jual. Cara fikir orang-orangnya pun juga harus kelas satu. Profesionalisme harga mati jika tidak ingin komoditas ini mati. Kita manusia Indonesia telah dikaruniai banyak nikmat salah satunya ISSP, maka kewajiban kita adalah mengelolanya sebagaimana mestinya. :)
ISSP adalah mutiara kelas satu. Pengelolaannya pun juga harus dilakukan oleh sebuah sistem yang benar-benar profesional. Sudah tidak lagi benda yang bernilai sangat tinggi ini dilakukan secara tradisional. Harus ada sistem semacam perusahaan BUMN sekelas Garuda Indonesia atau BRI yang dengan berani memiliki satelit sendiri, mutiara pun demikian. Harus ada sistem atau perusahaan yang benar-benar berfikir dan memetakan dengan sebenar-benarnya siapa pangsa pasar ISSP ini.
Sebuah perusahaan kelas internasional akan befikir siapa kostumer mereka, apakah dijual secara bebas di pasar atau langsung ke hadapan konsumen, apa produk mereka, berapa harga yang pantas, apa inovasi pengembangan produknya, bagaimana branding produk mereka, dan lain sebagainya. Mereka bukan lagi berfikir bagaimana barang itu habis terjual melainkan berfikir bagaimana kostumer puas dengan produk mereka. Mereka berfikir fokus pada konsumen bukan produk. Sistem ini harus diisi oleh orang-orang yang tahu akan perhiasan, pasar, psikologi manusia, inovator dan inventor, dan lain sebagainya. Sudah tidak lagi birokrat berbicara banyak di sini.
Bisa saja mereka berfikir bahwa ISSP diolah terlebih dahulu menjadi jewelry, sesuai karakteristik kostumer, yang kemudian harganya berada di atas harga mutiara "mentah". Dan suatu saat kondisi dapat berubah, ketika banyak mutiara yang dijual telah berbentuk perhiasan, pasar akan mencari mutiara murni yang belum diolah menjadi perhiasan. Di kondisi ini, harga akan berbalik, ISSP bisa menjadi mahal. Demikian seterusnya.
Indonesian South Sea Pearl adalah mutiara kelas satu dunia. Kita harus mengembalikannya kepada kelasnya. Mutiara jenis ini harus dikelola sebagaimana mestinya. Bagaimana membudidayakan, mengolah, menginovasi, menjual, bahkan hingga pasca jual. Cara fikir orang-orangnya pun juga harus kelas satu. Profesionalisme harga mati jika tidak ingin komoditas ini mati. Kita manusia Indonesia telah dikaruniai banyak nikmat salah satunya ISSP, maka kewajiban kita adalah mengelolanya sebagaimana mestinya. :)