Rasanya sedih bercampur marah ketika saya membaca komentar di media sosial yang mengatakan kalau coronavirus atau corona itu tidak ada. Komentar yang demikian saya menemukannya di postingan rilis update jumlah penderita covid-19 dari gugus tugas covid-19.
Entah siapa dan atas dasar apa ada yang membuat narasi kalau corona itu tidak ada. Isu corona dimunculkan untuk mengeruk APBN, untuk memisahkan umat dari masjid atau tempat peribadatan lainnya, untuk membuat orang-orang takut, dan lain sebagainya. Isu corona digunakan agar rumah sakit beserta tenaga medisnya semisal dokter, perawat, dan lainnya bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Iso corona ada, meski tidak ada obatnya, tetapi uang bisa terus mengalir ke rumah sakit. Dan isu corona digunakan agar orang-orang yang meninggal bisa diberitakan corona agar orang semakin takut lalu uang semakin lancar ke rumah sakit. Sungguh yang membuat narasi dan hoax semacam ini benar-benar keji.
Memang hal yang demikian sudah seharusnya tidak perlu diindahkan. Saya bisa, tapi orang lain tidak. Hoax semacam ini sudah beredar ke banyak media sosial. Orang-orang tua serta tidak banyak tahu tentang dunia hoax, akan mudah termakan hoax semacam ini ketika masuk dalam pesan whatsapp. Lalu mereka reshare ke grup WA yang member-nya seusia dan senasib dengannya, reshare lagi, begitu seterusnya.
Baca juga: 3 hal yang khas dengan pandemi covid-19
Baca juga: 3 hal yang khas dengan pandemi covid-19
Semakin banyak, bahkan bukan hanya orang yang awam dengan hoax, termasuk juga anak muda yang sok pinter ikut percaya juga. Apalagi diikuti dengan dalil-dalil yang entah dari mada datangnya. Akibatnya, masyarakat menjadi abai dengan himbauan untuk menjaga diri dan menjaga jarak dari kemungkinan terpapar covid-19. Karenanya, mereka yang sudah tidak percaya itu kemudian beraktivitas selayaknya biasa, tidak mengenakan alat pelindung diri berupa masker, berkerumun di tempat publik, dan sebagainya. Jika ada yang meninggal dunia, mereka menolak jika pemakaman dilakukan dengan protokol covid-19.
Siapa yang menjadi korban? Tentu tenaga medis. Mereka yang mendapat fitnah tetapi mereka juga yang bertugas mengantarkan kesembuhan. Ketika semakin banyak yang abai, mereka pun menularkan virus kepada tenaga medis. Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah korban dari tenaga medis yang sangat besar. Entah berapa jumlah total tenaga kesehatan yang sudah terpapar. Bahkan mereka perawat senior dan dokter spesialis, pun gugur dalam pertempuran. Nyawa dokter spesialis apakah sepadan jika ditukar dengan nyawa orang-orang yang berbohong dan menularkan virus kemana-mana? Seharusnya tidak sepadan, tetapi itulah sumpah jabatan.
Pancene penak maido
Maido/paido dalam bahasa jawa artinya adalah sikap tidak percaya dibarengi dengan sinis. Maido atau tidak percaya itu mudah. Tapi, sikap yang mudah itu bisa jadi membunuh orang lain khususnya tenaga kesehatan.
Apakah kita pernah belajar ilmu kedokteran? Pernah belajar tentang virus? Tentang dunia kesehatan apa yang kita kuasai? Paling-paling kalau masuk angin kerokan, sembuh. Cuma segitu ilmu kita, kok berani-beraninya bilang corona itu tidak ada. Tenaga medis itu berjuang demi kesembuhan masyarakat. Gaji pun ada yang tidak seberapa.
Apakah ilmu kita di dunia kesehatan lebih tinggi daripada mereka yang sudah mengenyam pendidikan? Mereka yang benar-benar berkompeten saja sudah menyampaikan bagaimana risiko jika terpapar corona dan bagaimana cara untuk mencegahnya. Eh, cuma dengan postingan hoax yang entah siapa yang membuat dan ilmunya dari mana, kok kita bisa-bisanya percaya.
Mungkin kita memiliki saudara yang bekerja sebagai tenaga medis? Mungkin ada saudara, teman lama, atau kerabat yang jadi dokter, perawat, bidan? Atau ada yang bekerja di rumah sakit tetapi bukan tenaga medis semisal satpam rumah sakit, sopir ambulan, cleaning service, jaga parkir, jualan makanan di kantin rumah sakit, mereka juga riskan terpapar corona. Jika kita abai, bisa jadi mereka yang merupakan saudara kita juga bisa terpapar.
Saya punya saudara dan teman yang jadi perawat, bidan, apoteker di rumah sakit, klinik, puskesmas, apotek, dan tempat-tempat kesehatan lainnya. Dan saya tidak mau mereka menjadi korban corona.
Juga, kita seharusnya menyayangkan banyaknya pernyataan para petinggi negeri ini di awal datangnya corona di Indonesia. Banyak dari beliau-beliau yang melontarkan hal-hal yang nyeleneh dan tidak berdasar. Pernyataan mereka jauh dari sikap ilmiah. Karena pernyataan-pernyataan tersebut keluar dari lisan para public figure, maka tidak heran jika masyarakat pun ikut-ikutan tidak percaya kalau corona itu ada.
Sempat ramai tagar #IndonesiaTerserah beberapa waktu yang lalu. Kalau kita mau memahami, itu ada alah wujud kekecewaan kita termasuk para tenaga medis karena masyarakat abai dengan corona. Kecewa tetapi mereka tidak menyerah. Mereka tetap menjalankan tugas sebagaimana sumpah yang pernah mereka ucapkan. Tetapi hal itu bukan berarti kita boleh terserah melakukan apa saja. Kalau memang demikian, mungkin kita yang terlalu bodoh dan terlalu tidak memiliki rasa tenggang rasa.