Belajar dari Rumah itu Tidak Mudah

Sudah bosan di rumah saja? Sudah berangkat kerja ke kantor? Sudah mulai nge-mall lagi? Nongkrong di kafe sudah mulai jadi rutinitas? Sepedaan bareng komunitas dan tidak memakai masker? Tapi kok belum boleh berangkat sekolah ya?

Belajar dari Rumah itu Tidak Mudah

Belajar di rumah kan bikin emaknya rempong. Sepetinya belum ada istilah lain selain rempong karena sangking ribet, repot, dan riweuh. Ngajari matematika? Wah, sudah lupa tuh sama hitung-hitungan. Menemani dan mengajari selama belajar di rumah, disambi menyapu, mengepel, cuci baju, momong anak paling kecil yang masih batita, dan kerempongan lainnya. Iya kalau emaknya "nganggur" --istilah mengenaskan buat ibu rumah tangga--, bagaimana kalau emaknya juga wanita karir. Eyangnya dong ya yang rempong.

Belajar di rumah pengeluaran malah lebih banyak. Belajar dari rumah butuh gawai sekalian sama kuota datanya. Banyak orang tua tidak mampu membeli atau membelikan gawai untuk anaknya. Jika punya, kuota data juga tidak murah. Ada operator yang murah tapi sinyalnya luar biasa susahnya. Kalau ada yang sinyalnya bagus baget --tahu sendiri lah operator apa yang dimaksud-- tapi harganya yang tidak bagus. 

Belakangan banyak tuntutan dari orang tua agar sekolah tatap muka segera diberlakukan meski korban covid-19 masih tinggi dan terus naik. Bagi sebagian lagi dari kalangan orang tua --terutama yang bependidikan-- masih tidak rela membiarkan anak-anaknya keluar termasuk bersekolah karena khawatir anak-anaknya terpapar corona.

Kita dalam menyikapi pandemi covid-19 ini harus memilih, rempong menemani anak belajar dengan segala kebutuhannya di rumah atau membiarkan anak berangkat sekolah tapi dengan risiko terpapar virus corona. Hayo, pilih mana?

Masih belum percaya corona itu ada? Pancene penak maido

Buat anak kok coba-coba. Rela anaknya kena virus corona? Bagaimana jika --meski perlu penelitian lebih lanjut-- yang pernah terkena corona itu mengalami cacat paru-paru selama belasan atau puluhan tahun ke depan? Jika itu terjadi, kita akan kehilangan satu generasi yang sehat. Beberapa atlet saja menghentikan aktivitas profesi olahraga agar tidak terpapar corona. Khawatirnya setelah terpapar, paru-parunya cacat, habis sudah karir dia di olahraga. Bagaimana jika itu terjadi pada anak-anak, apalagi itu anak kita? Dan konyolnya, itu terjadi hanya karena kita tidak mau rempong.


Kewajiban itu ada di orang tua.

Adalah orang tua yang wajib memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anaknya. Mengapa ada sekolah? Karena keterbatasan kemampuan orang tua. Orang tua yang seorang dokter bisa jadi kurang menguasai pelajaran IPS. Orang tua yang seorang pengacara bisa jadi kurang menguasai matematika. Orang tua yang jadi seorang petani belum tentu tidak paham matematika. Karena kemampuan orang tua yang berbeda, ada yang paham ini tapi tidak paham itu, maka diperlukan peran guru di sekolah. Tapi tetap saja tidak menghilangkan kewajiban orang tua mendidik anaknya.

Termasuk memasukkan anak-anaknya ke TPA --Taman Pendidikan Al Quran--. Orang tua yang wajib mengajarkan dan mendidik anak-anaknya tentang Tuhan dan ibadah. Minimal baca Surat Al Fatihah. Selebihnya, jika orang tua tidak cukup ilmu, maka dititipkanlah anak-anak ke TPA. Masa iya, Surat Al Fatihah saja yang mengajarkan adalah TPA. Padahal setiap si anak nanti hingga dewasa dan hingga mati, surat yang wajib dibaca saat shalat adalah Surat Al Fatihah. Dan di sana pahala akan selalu mengalir kepada orang tuanya. Jika yang mengajarkan Al Fatihah saja ustadz dan ustadzah di TPA, orang tua akan rugi. Demikian pesan Pak Kiyai suatu ketika di pengajian.

Jika memang guru dan sekolah tidak mampu, termasuk kondisi pandemi corona seperti sekarang, kewajiban tetap dan kembali ke orang tua. Guru memberikan arahan bagian mana yang harus dipelajari dan bagaimana mengajarinya. Tidak efektif? Yah, namanya juga darurat. 


Ternyata televisi tidak mendukung

Niat hati mau merebahkan diri karena capai seharian bersih rumah dan menemani anak belajar, tv dinyalakan. Lha kok ternyata semua stasiun tv dibajak sama bimbel online ruang guru. Hanya tersisa tiga stasiun tv yang isinya berita nasional dengan isu politik dan perkembangan korban covid-19. Satu lagi adalah TVRI yang isinya dialog tentang isu nasional juga. Gagal deh me time bareng tv.

Jika dilihat, selama ini hanya TVRI yang mendukung aktivitas belajar dari rumah. Pagi hari jam 8 hingga menjelang siang, secara bergantian ada program acara belajar dari rumah, mulai PAUD hingga SMA. Stasiun tv lain? Jangankan program belajar dari rumah, acaranya pun jauh dari kegiatan belajar. Acaranya mirip-mirip lalala yeyeye dengan tidak menjalankan social distancing. Selesai acara lalala yeyeye, acaranya gosip yang mana artis yang digosipkan orang mereka juga. Pindah channel adanya sinetron "kumenangis membayangkan....", pindah lagi sinetron juga yang katanya anak sekolah SMP sudah hamil. 

Daripada mereka secara serentak mengiklankan bimbel online berbayar, mengapa mereka tidak membuat acara tv semacam atau serupa bimbel ya? 

Bukankah frekuensi televisi itu milik negara yang dititipkan kepada swasta ya? Jika negara membutuhkan fasilitas untuk belajar di rumah, seharusnya mereka menyediakan kan ya? Negara saja sedang pusing memikirkan bagaimana agar aktivitas belajar dari rumah bisa berjalan, bagaimana anak-anak bisa memegang gawai beserta kuota data plus sinyalnya, tapi tv malah menutup mata. Padahal jika tv bisa dimanfaatkan, hampir semua setiap keluarga di negara ini memiliki tv. Pemanfaatannya pun gratis tidak perlu membayar pulsa dan kuota. Paling biaya listrik, tapi itu pun pemerintah sudah memberi subsidi. Tapi, kok yang hadir malah sinetron "kumenangis membayangkan...".

Corona itu benar adanya. Perlu kebijaksanaan dalam menyikapi keberadaannya. Kita saja yang sudah dewasa tidak ingin terpapar dan dirawat dalam karantina, apalagi anak-anak sekolah. Masa depan mereka bisa jadi lebih panjang daripada kita. Jadi, jangan korbankan mereka untuk bertarung dengan corona. Jika memang mereka harus bersekolah tatap muka, keamanan mereka harus ada garansinya. Jika memang mereka harus di rumah saja, seharusnya semua pihak ikut mendukung. Lebih baik rempong tapi sehat daripada rempong karena sakit. 😃