"Cinde Laras anak Panji Putra raja yang tersohor", demikian ayam Cinde Laras berkokok seusai mengalahkan ayam jago sang raja. Raja yang masih terisak karena kekalahan ayam jagonya, terkaget dengan kokokan ayam jago Cinde Laras. Ibunya, Dewi Sekartaji, yang tiba-tiba hadir mengiyakan apa yang terjadi.
Cinde Laras lahir dari rahim Dewi Sekartaji di tengah hutan tanpa bantuan siapa pun. Tetapi, tidak ada satu pun binatang buas, harimau; ular; kalajengking, yang berani mendekatinya. Ia tumbuh menjadi pemuda remaja yang gagah. Suatu hari ketika ia sedang berburu celeng untuk dimakan bersama ibunya, ada elang yang menjatuhkan sebuah telur ayam. Telur tersebut dibawa pulang ke tempat ia dan ibunya tinggal. Ketika mau dimasak, ternyata telur itu menetas. Tidak membutuhkan waktu yang lama, anak ayam itu telah menjadi ayam jago. Suatu ketika, ayam jago itu pun berkokok, "Cinde Laras anak Panji Putra raja yang tersohor".
Cinde Laras bermodal ayam jagonya pamit kepada ibunya untuk mencari tahu tentang jati dirinya. Tidak jauh dari hutan, ia menemukan sebuah pasar. Di sana ada ajang adu jago. Cinde Laras pun ikut mengadu ayamnya di sana. Semua ayam yang diadu kalah dengan miliknya. Kehebatan ayam jago Cinde Laras terdengar hingga ke istana. Sang raja pun penasaran dan ingin mengadu ayam jagonya dengan ayam jago Cinde Laras. Maka diundanglah Cinde Laras ke istana untuk mengadu jago.
Dengan badan tegak, Cinde Laras masuk ke lingkungan istana. Awan melindunginya dari panas sehingga Cinde Laras merasa nyaman. Jika ayam Cinde Laras menang, Raja akan memberikan istananya kepada Cinde Laras. Jika Cinde Laras kalah, maka raja akan memenggalnya. Demikian taruhan yang diberikan oleh sang raja dan Cinde Laras menyetujuinya. Tak disangka, ayam jago sang raja kalah dan ia harus memberikan istananya kepada si pemuda remaja.
Cinde Laras hadir dalam wayang beber
Kisah Cinde Laras yang sudah banyak kita baca atau dengarkan dongengnya sejak zaman SD kini hadir dalam bentuk wayang beber. Kalau wayang kulit dan jenis wayang yang lain mungkin kita tidak asing lagi. Mungkin banyak yang belum pernah melihat bahkan masih asing dengan apa itu wayang beber. Wayang beber adalah wayang dimana penyampaiannya dengan cara dibeber atau dipaparkan. Wayang beber merupakan wayang yang tertua sebelum wayang-wayang yang lain hadir.
Jarang-jarang ada pertunjukan wayang beber. Atau hanya saya yang kurang info, hmm.... Wayang beber ditampilkan di Museum Sonobudoyo di malam minggu di akhir tahun 2020 ini. Daripada harus jauh-jauh ke Gunung Kidul atau ke Pacitan, dimana gulungan asli wayang beber kini tersisa, mumpung ada penampilan di Museum Sonobudoyo ya harus disempatkan hadir.
Baca juga: Seminar di Museum Sonobudoyo, Batik, Industri, dan Globalisasi
Pertunjukan wayang beber di museum sonobudoyo dijadwalkan jam 19.00 WIB. Lepas sepuluh atau lima belas menit setelahnya saya baru sampai di lokasi. Benar saja, pagelaran sudah mulai. Sesosok buto sedang berjalan berkeliling ruangan dan di sela-sela duduknya para pengunjung. Bau dupa memenuhi ruangan. Sang dalang pun memulai kisahnya.
Pameran Jayengtilam, tentang seni berkisah
Jayengtilam atau secara sederhana bisa diartikan tentang kejayaan dalam peraduan. Atau kalau dalam bahasa yang kekinian, bisa dikatakan sebagai bedtime stories. Karena di peraduan atau saat akan tidur, kisah-kisah yang bernilai keilmuan kehidupan sering disampaikan oleh orang tua-orang tua kita.
Seharusnya perjalanan dimulai dari pintu depan yang kemudian finish di ruang tutur dimana pertunjukan wayang beber diselenggarakan. Akan tetapi karena saya langsung njujug di wayang beber, maka saya harus mundur ke pintu depan untuk memulai penjelajahan pameran Jayengtilam.
Ketika kita masuk ke ruangan pameran, kita langsung disuguhi koleksi wayang beber Remeng Mangunjaya. Wayang beber yang panjangnya 3.5 meter ini merupakan koleksi Museum Sonobudoyo sejak 1994 dimana berkisah tentang lakon Panji Remeng Mangunjaya yang melakukan laku ngelmu dimana akhirnya bisa bersatu kembali dengan Dewi Sekartaji.
Memasuki ruangan berikutnya, kita disuguhi oleh koleksi topeng-topeng panji. Topeng-topeng ini merupakan topeng klasik yang mengisahkan cerita panji dalam berbagai versi sesuai dengan zamannya. Topeng-topeng ini, dalam di dalam rangkaian pameran Jayengtilam ini pula, pernah "dihidupkan kembali" dalam pagelaran wayang topeng panji. Sayangnya saya tidak sempat hadir untuk nonton, sedihnya.
Memasuki ruangan berikutnya, kita akan disuguhi oleh suasana horor, setra gandamayit. Dari namanya saja sudah ngeri, ganda artinya bau, dan mayit ya mayat. Jadi, ini adalah ruangan bau mayat, hiii. Bagaimana tidak, para memedi hadir di sini, dimana para setan tampil dalam bentuk wayang setanan. Sebelum kita mengenal setan-setan yang kekinian, semisal pocong, genderuwo, jelangkung, dan teman-temannya, kisah setan di masa lampau sudah memiliki koleksi setan. Tuyul, wedon (mirip dengan pocong), lelepah, peri, jrangkong, cik nonong, dan lain sebagainya telah menghiasi kehororan masyarakat kita. Berani ketemu dengan mereka? hehe...
Senthong tengah |
Meninggalkan nuansa horor, kita masuk ke ruangan berikutnya, kita disugugi oleh benda-benda yang istimewa. Senthong tengah yang meliputi tempat tidur dan segala kelengkapannya tampak sangat mencolok di ruangan ini, merupakan pusat kesakralan rumah jawa. Di ruangan ini pula ditampilkan payung, tombak, dan menur.
Di ruangan berikutnya, berkisah tentang perempuan. Di tanah jawa, perempuan memiliki andil dalam perjalanan sejarah dan budaya. Masih ingat dengan Roro jonggrang, Ken Dedes, hingga Ratu kidul? Itu membuktikan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap tetapi juga bagian dari sejarah dan budaya. Di ruangan ini, ditampilkan manekin penari bedaya, yang mana manekin ini telah ada sejak awal pembukaan Museum Sonobudoyo di tahun 1933. Museum dengan Keraton Yogyakarta yang saling terikat, menjadi alasan keberadaan koleksi-koleksi museum yang mencerminkan keabsahan sultan.
Baca juga: Seminar batik, Kuasa dan Identitas di Museum Sonobudoyo
Di ruangan berikutnya, ditampilkan koleksi batik. Tidak banyak tetapi sangat bernilai. Batik motif prabu anom, motif cangkring, motif alas-alasan, motif parang huk, dan kampuh jumputan sutra hijau. Kampuh memang memberikan kesan tersendiri. Di pameran abala kuswa Kraton Jogja, pernah ditampilkan kampuh yang pernah dikenakan oleh Gusti Hayu dan juga kampuh Parang Barong yang diagem Sri Sultan HB X. Kali ini, yang ditampilkan adalah kampuh, ukuran sekitar 2x4 meter, motifnya jumputan bahannya sutra. Bisa dibayangkan bagaimana membuatanya yang tidak kalah rumit.
Di ruangan terakhir, sebelum masuk ruang tutur jayeng tilam tentunya, kita dapat belajar tentang delapan ajaran bagi para pemimpin yang divisualkan melalui delapan dewa yang mewakili unsur asthabrata. Meski dalam bentuk wayang kulit, tetapi ditata dengan apik, yaitu dalam sebuah roda yang berputar. Di setiap wayang, terdapat kode warna tersendiri yang penjelasannya ada di bawah roda yang berputar.
Keluar dari ruang pameran, rasanya sayang kalau acara seperti ini tidak ada katalognya. Saya pun bertanya ke salah satu mbak penjaga ruangan. Ternyata ada, saya pun diajak ke meja satpam (satpamnya juga sok akrab lagi, haha). "Silakan mengisi buku presensi katalog dulu", kata mbaknya. Saya pun mengisi biodata seperti waktu akan masuk ke pameran. Begitu satpam mengeluarkan katalog dari lemari, saya kaget dong, yang dikeluarkan adalah sebuah buku. Biasanya katalog pameran itu seperti leaflet ini kok buku. "Mbak, ini ga bayar kan?", saya bertanya agak gimana gitu, hehe. "Gratis mas, yang penting isi buku saja dan jangan dikopi", mbaknya menyampaikan. "Alhamdulillah", hehe.
Baru tiga kali saya ikut acara di Museum Sonobudoyo, dan semua memberi kesan positif bagi diri saya. Agak menyesal juga, kenapa tidak dari dulu saya ikut acara di sini. Banyak ilmu yang bisa diperoleh dan selalu disajikan dengan menarik. Sebagaimana pernah disampaikan oleh Kepala dinas kebudayaan (sekarang namanya Kundha Kabudayan) DIY, museum harus menarik. Dan Museum Sonobudoyo telah membuktikannya. Jadi kapan kita jalan lagi?