Pandemi covid-19 telah setahun berjalan. Tanda-tanda pandemic fatigue di kalangan masyarakat pun semakin besar. Di sebagiannya lagi, meski sudah setahun, tetapi tetap saja tidak meyakini akan adanya virus corona. Semakin banyak yang sudah melepas masker dan menjalankan protokol kesehatan. Akibatnya, semakin banyak penyelenggara pelayanan kesehatan yang kolaps dan pandemi tidak segera berakhir. Padahal memakai masker yang benar adalah salah satu cara agar pandemi segera berakhir.
Pandemi adalah kondisi dimana kita merasakan secara bersama-sama. Maka, dalam menyelesaikannya juga harus bersama-sama. Dalam budaya kita, Indonesia memiliki gotong royong. Gotong royong dalam kasus covid-19 ini sudah banyak kita lakukan. Semisal pemberian santunan dan bantuan sembako kepada keluarga penyintas covid-19, kerja bakti penyemprotan disinfektan, kerja bakti pembagian sabun dan hand sanitizer, kerja bakti pembuatan dan pengelolaan pos di ujung kampung, dan lain sebagainya.
Tanpa mengecilkan segala upaya gotong royong masyarakat tersebut di atas, kita seharusnya melihat dan bergotong royong dalam lingkup dan sudut pandang yang lebih luas.
Sebagaimana kalau kita bergotong rotong membangun rumah --atau kalau di jawa disebut sambatan-- kita punya satu visi yaitu bagaimana pandemi ini harus segera berakhir.
Sayangnya masing banyak dari kita yang belum satu visi. Masih banyak yang masih belum memahami bahwa covid-19 benar-benar ada. Masih banyak yang mengkorupsi dana bantuan sosial dan masyarakat masih memiliki sentimen negatif terkait itu.
Ibarat kita membangun rumah, masih banyak yang mengatakan kalau rumah itu tidak perlu ada, ada yang menuduh si X dapat keuntungan dengan pembangunan rumah, menuduh kalau tanah yang digunakan untuk membangun rumah dari hasil mencuri, dan lain sebagainya. Kapan rumanya selesai dibangun? Bisa jadi tidak akan pernah selesai. Alasannya sederhana, tidak satu visi.
Baca juga: Corona tidak ada? Pancene penak maido
Tidak ingin rasanya menyalahkan pemerintah tetapi kita perlu memberi perhatian khusus atas tindakan para figur publik termasuk para penjabat pemerintahan dan para selebritas.
Sejak pandemi ini bermula, sudah banyak sekali tindakan dari para penjabat yang membuat masyarakat tidak satu visi. Pernyataan-pernyaan kontoversial, tumpang tindih, dan saling berbenturan antar pejabat selalu menghiasi pemberitaan. Polarisasi politik yang seharusnya tidak dibawa ke penanganan pademi, nyatanya justru semakin memperparah keadaan.
Bagaimana masyarakat mau satu visi jika setiap hari dipertontonkan berita ada pejabat yang korupsi. Bagaimana masyarakat mau menjaga protokol kesehatan menjauhi kerumunan jika ternyata para pejabat dan selebritas merayakan pesta ulang tahun dengan meriahnya. Bagaimana masyarakat mau di rumah saja dan menjaga diri dari bepergian jika selalu dipertontonkan aktivitas jalan-jalan dan berwisata? Bukan salah berita tetapi mengapa mereka melakukannya? Dari mereka lah satu visi ini telah pupus.
Alasan masih memakai masker
Apakah Anda masih memakai masker? Dibanding protokol kesehatan lainnya di 5M, memakai masker adalah protokol yang paling mudah. Meskipun mudah tetapi masih dan semakin banyak yang mengabaikannya. Tidak usah lah kita melihat para selebritas, sinetron, para pejabat yang berfoto di sana-sini tetapi tidak memakai masker. Kita niatkan pada diri kita sendiri untuk memakai masker.
Di beberapa tempat, masyarakat sudah tidak lagi memakai masker. Jika ada yang memakai, --dan tidak kuat iman-- rasanya justru risih, akhirnya ikut-ikutan melepas masker. "Di sini sudah biasa kok ga pakai masker", demikian yang banyak disampaikan orang-orang setempat.
Mungkin kita masih harus memasang muka tembok, jadi kemana pun tetap dengan pedenya memakai masker. Dan jika ada kerumunan yang tidak memakai masker, maka kita hindari.
Berikut lima alasan mengapa masih harus memakai masker:
1. Takut menulari orang lain
Mungkin kita bisa saja beranggapan bahwa tidak mengapa ketularan karena merasa memiliki imun yang baik. Meskipun anggapan tersebut tidak bisa dibenarkan. Anggap saja kita tidak peduli dengan diri sendiri, tetapi kita jangan sampai merugikan orang lain. Bisa jadi kita ketika tertular covid-19 bisa tetap sehat tetapi bagaimana dengan orang lain? Bagaimana jika kita menularkan kepada orang yang memiliki komorbid? Bagaimana jika kita menularkan virus corona ke orang tua kita dan beliau --na'udzubillah-- meninggal dunia? Penyesalan yang bagaimana nantinya?
Penularan tidak akan bersifat linear. Satu orang menularkan belum tentu hanya akan menularkan ke satu orang berikutnya. Tetapi satu orang akan menularkan ke --misalnya-- lima orang, kemudian masing-masing dari lima orang ini akan menularkan ke berapa orang lagi? Semacam skema ponzi atau MLM, tetapi ini sayangnya ini "marketing" virus.
2. Takut berdosa karena menularkan
Masih terkait alasan pertama, apakah kita tidak takut berdosa? Bisa jadi tertularnya dan kita menularkannya virus corona itu berbalut kesombongan, "ah ketularan gapapa, nanti juga sembuh". Karena kesombongan kita itu mengakibatkan orang lain sakit dan bahkan ada yang meninggal. Bukankah itu termasuk tindakan dzalim?
Dengan kita tidak mau menjalankan protokol kesehatan dan ikut menularkan, kita membuat orang lain termasuk keluarga yang merawat pasien penyintas covid-19 menjadi kesusahan. Mereka harus pontang-panting mencari pelayanan kesehatan, mencari donor darah convalescent, harus isolasi dan karantina, dan sebagainya. Bukankah penularan yang kita lakukan bisa termasuk dzalim?
Baca juga: Swab PCR negatif tapi kok dimakamkan dengan prokes. Dicovidkan?
3. Penghormatan kepada tenaga medis
Sejak pertama kali kasus covid-19 masuk ke Indonesia, tenaga medis menjadi pihak yang paling berisiko. Mereka adalan orang-orang yang pertama kali berdoa agar pandemi ini segera berakhir. Dan mereka akan menjadi orang yang pertama kali bersyukur ketika pandemi ini berakhir.
Di antara mereka para tenaga medis, bisa jadi adalah salah satu dari keluarga kita, atau teman sekolah kita, atau orang yang pernah menolong kita. Atau mungkin ada dari saudara kita yang bekerja di rumah sakit sebagai apoteker, bidan, cleaning service, juru parkir, penjaga kantin, atau bidang lain yang tidak berhubungan langsung dengan covid-19 tetapi mereka juga berisiko tertular. Apakah kita tidak ada penghormatan kepada mereka?
Dengan pengabaian kita akan protokol kesehatan, kita telah tidak menghormati para tenaga medis. Penghormatan tidak cukup dengan postingan media sosial "terima kasih tenaga medis", tetapi menjaga dan ikut serta dalam memutus rantai penularan covid-19.
4. Ikut serta agar pandemi segera selesai
Siapa pun di negeri ini pasti menginginkan agar pandemi segera selesai dan kondisi kembali normal. Tetapi adalah hal mustahil jika enggan menjalankan protokol kesehatan. Selesainya pandemi bukan semata peran dari pemerintah maupun tenaga medis, tetapi semua pihak dari bangsa ini memiliki andil. Kapan pandemi ini akan selesai? Jawabannya ada di diri kita masing-masing, mau kah kita menjalankan protokol kesehatan? Salah satunya dengan memakai masker yang benar.
5. Penghormatan kepada ilmu pengetahuan
Untuk alasan kelima ini, bisa jadi tidak semua orang memilikinya. Virus tidak terlihat secara kasat mata. Mengetahui bahwa seseorang telah menjadi penyintas covid-19 atau belum, pun tidak bisa dilihat dari fisiknya. Pengobatan juga tidak bisa dilakukan dengan seketika. Semua harus dilakukan dengan ilmu. Banyak ilmuwan yang turun tangan agar pandemi ini segera selesai.
Selain kepada tenaga medis, penghormatan juga kita berikan ilmu pengetahuan serta kepada orang-orang yang telah mempelajari dan mencurahkan pikirannya. Tuhan maha memiliki ilmu. Apakah kita bisa disebut sebagai makhluk beriman jika tidak mau menghormati ilmu? Apakah kita termasuk orang yang menghormati ilmu jika tidak mengakui kalau covid-19 itu benar-benar ada dan kita enggan menjalankan protokol kesehatannya?
Akhirnya, semua kembali ke diri kita masing-masing, apakah mau ikut andil dalam menyelesaikan covid atau justru ikut memperparah keadaan. Kita sudah seharusnya satu visi. Tetapi langkah paling mudah dalam menjalankan visi adalah prokes. Dan prokes paling mudah adalah memakai masker. Kalau memakai masker saja engga, ya mau bagaimana lagi.